Idul Fitri menurut istilah adalah perayaan kembali ke fitrah, yaitu mengandung dimensi kembali ke nol, tidak bernoda, setelah menjalankan puasa mensucikan diri dan saling maaf memaafkan antar sesama.
Kembali fitrah disini memiliki arti sifat asal, kesucian, dan pembawaan manusia yang berlaku universal. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, kullu mauludin yuladu ‘alal fitrah yang artinya bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah, suci.
Pada tahun 2024, bangsa ini menghadapi hajatan akbar demokrasi dalam bentuk pemilihan umum. Dampak dari strategi politik tertentu sudah mulai terasa dalam kehidupan masyarakat (seperti politik identitas). Terlebih lagi kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat belakangan tidak bisa dikatakan baik-baik saja, terlepas apakah semua ini akibat dari pandemi ataupun akibat kebijakan yang diambil pemerintah.
Semua ini penting dijadikan sebagai sebuah kesadaran sekaligus kewaspadaan oleh kita semua agar tidak terpancing dengan hal-hal yang bersifat aksi kekerasan. Terlebih lagi beberapa perkembangan politik di tingkat regional dan global sangat tidak menggembirakan, seperti krisis politik di Myanmar dan perang terbuka antara Rusia dengan Ukraina.
Kenapa semua ini penting diwaspadai bersama? Tak lain karena sampai hari ini masih ada kelompok-kelompok di Indonesia yang berkeyakinan bahwa kekerasan bisa dijadikan sebagai jalan perjuangan, termasuk dalam situasi sekarang. Minimal hal ini bisa dibuktikan dengan temuan kepolisian mutakhir terkait jaringan NII di Sumatera Barat yang ingin melengserkan pemerintah sebelum Pemilu 2024.
Hingga hari ini masih ada kelompok-kelompok yang belum menerima Indonesia sebagai negara Pancasila.
Secara lebih luas, hingga hari ini masih ada kelompok-kelompok yang belum menerima Indonesia sebagai negara Pancasila. Kelompok ini cenderung menjadi ”oposisi permanen” yang secara keorganisasian dan kepemimpinan bisa bergonta-ganti setiap saat. Yang tak kalah penting, kelompok seperti ini tak jarang menggunakan ayat-ayat suci untuk membenarkan aksi-aksinya dalam melawan Indonesia sebagai negara Pancasila, termasuk dalam melakukan aksi-aksi kekerasan.
Di sinilah pentingnya menjadikan nilai-nilai puasa yang memuncak pada Idul Fitri sebagai pegangan perjuangan. Semua pihak (khususnya para elite) harus terlatih untuk menahan diri, terutama ketika perjuangan yang dilakukan berpotensi menimbulkan aksi kekerasan. Karena apa pun alasannya, perdamaian dan kerukunan adalah fitrah yang harus senantiasa dijaga oleh umat manusia. Kalaupun ada ajaran atau norma terkait perang ataupun hal-hal yang bersifat kekerasan, maka hal itu bersifat sementara, darurat, dan diatur dengan ketat. Oleh karena itu, Idul Fitri sejatinya dijadikan sebagai momentum oleh semua pihak untuk mengukuhkan sekaligus mempermanenkan perdamaian. Silaturahmi kebangsaan dan halalbihalal harus dilakukan secara masif, tidak hanya di kalangan kaum elite yang sudah menerima NKRI, tetapi juga melibatkan para pihak yang belum menerima Pancasila dan NKRI. Hingga persatuan Indonesia tetap terjaga dan perdamaian senantiasa terpelihara dengan baik. (HMH)