Beberapa bulan lalu kita dikejutkan lagi dengan peristiwa aksi teror ; bom bunuh diri dan aksi penyerangan Mabes Polri. Ini merupakan tindakan aksi teror yang berulang di Indonesia.
Bom bunuh diri di gereja katedral Makassar yang melibatkan pasangan muda suami isteri yang baru menikah enam bulan, ini sungguh membuat kita menggelengkan kepala. Lebih miris lagi, selang waktu hanya beberapa hari saja, ada seorang gadis bernama Zakiah Aini, melakukan teror dengan melakukan penyerangan ke Mabes Polri, yang akhirnya harus mati didor petugas kepolisian.
Fakta yang mengejutkan, dari usia para pelaku menunjukkan bahwa mereka adalah generasi milenial yang mengikuti fenomena hijrah yang berkembang pesat di tengah hiruk-pikuk kehidupan pemuda-pemudi muslim saat ini.
Pelaku bisa dikatakan memiliki ghirah yang tinggi untuk amal agama, seperti yang diceritakan oleh tetangga bahwa ZA rajin ibadah dan menjadi kebanggaan orangtuanya. Tetapi apa outputnya? ZA berfikiran ekstremis, berperilaku radikal teroris. Kalau dilihat dari isi surat wasiat ZA yang beredar luas dimedia sosial, kita bisa membacanya, betapa surat itu menunjukkan kedangkalan pemahaman tentang agama Islam. Masih harus banyak belajar dan ngaji lagi.
Sudah hijrah, rajin taklim kok malah jadi ekstrem?!
Hal ini terjadi karena salah kaprah memaknai hijrah. Fenomena hijrah yang ramai di berbagai media sosial: Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya, bergema dikampus-kampus dan sekolahan, ini masih bersifat fisikly show.
Hijrah menjadi trend remaja Islam masakini. Menjadi trending topik berbarengan dengan wacana-wacana syar’i lainnya: seperti nikah muda, ta’aruf dan lain sebagainya. Semangat dakwah anak muda hijrah menandai momentum perpindahan dan perubahan dalam diri seseorang dari keburukan menuju kebaikan. Ini adalah hal yang sangat baik dan wajib kita syukuri.
Akan tetapi pemaknaan hijrah dalam konteks fenomena hijrah yang berkembang di kalangan pemuda dan pemudi muslim ini masih pada makna hijrah pada aspek eksistensialnya, bukan pada aspek substansialnya.
Tampilan busana muslim berbagai mode, gamis trendy, jenggot tipis, dan lain-lain menjadi warna baru. Perubahan berikutnya yang juga tidak bisa dilepaskan dari wacana seputar hijrah adalah penggunaan istilah-istilah kata yang diambil dari bahasa arab. Beberapa kata yang sering digunakan adalah “ukhti” untuk menyebut saudara perempuan, “akhi” untuk menyebut saudara laki-laki, “ana” untuk menyebut aku/saya, “anta/antum” untuk menyebut kamu/kalian “na’am/la” untuk menyatakan iya/tidak dan beberapa istilah tambahan lain seperti fillah dalam kata ukhti fillah dan akhi fillah. Ini yang menjadi daya tarik pemuda pemudi Islam saat ini. Terlihat ‘berbeda’ adalah merupakan kebanggaan tersendiri.
Kemudian dengan rasa bangga ‘berbeda’ tadi, mulai mengikuti pengajian yang berbeda pula. Mengikuti khalaqah-khalaqah pengajian dirumah-rumah, tidak dalam majelis-majelis yang ada di masjid ataupun mushola. Cenderung memisahkan diri dari komunitas selainnya. Tanpa sadar, ta’lim yang berisi doktrin-doktrin mulai tertanam dalam diri dan jiwanya.
Mengutip komentar Ali Imron seorang mantan pelaku bom Bali 1 “Seharusnya yang sudah NU ngaji saja ke NU, yg Muhamadiyyah ngaji saja dipengajian Muhammadiyyah gak usah nyempal kemana-mana. Ngaji yang ‘nyempal’ itulah awal daripada penyakit!”.
Itu artinya pengajian-pengajian. Khalaqah-khlaqah baru dan berbeda tadi adalah sumber dari pemikiran ekstrem, sikap intoleran, yang kemudian membentuk tindakan-tindakan radikal.
Para pelaku sebenarnya punya semangat besar untuk belajar agama, tapi sangat disayangkan, belajar dari guru dan ilmu yang salah.
Guru yang salah, waktu yang terbilang sangat minim atau singkat menjadi faktor utamanya. Guru dari hijrahan seharusnya juga tidak dijadikan petunjuk utama. Karena juga masih baru dalam hal belajar agama.
Oleh karena itu makna hijrah harus dikembalikan pada asalnya. Bahwa hijrah bukan hanya terbatas pada aspek eksistensi saja. Tetapi hijrah harus mampu menembus batas-batas fisik, karena hijrah bukan hanya persoalan seberapa lebar kerudungmu, seberapa cingkrang celanamu, juga bukan seberapa panjang jenggotmu. Hijrah itu tentang bagaimana kita memperbaiki hubungan kita kepada Allah, kepada manusia dan kepada alam sekitar.
Hijrah dan Ta’lim Ala ‘Alala’
Ta’lim/taklim adalah merupakan subtansi dari hijrah. Belajar, mengkaji untuk memperdalam keilmuan agama Islam. Maka menurut penulis para pelaku hijrah wajib belajar materi dasar seorang penuntut ilmu dari kitab ta’lim muta’alim atau ‘Alala’.
Kitab Ta’lîm al-Muta’allim Tharîq at-Ta’allum merupakan salah satu kitab yang menghimpun tuntunan belajar. Penyusunnya adalah Burhânuddîn Ibrâhim al-Zarnûji al-Hanafi. Kata al-Zarnûj dinisbatkan kepada salah satu kota terkenal dekat sungai Oxus, Turki. Imam al-Zarnûji wafat pada 591 H.
Inilah nadhom alala tanalul ‘ilma selengkapnya dalam arti bahasa indonesia:
Syarat-syarat mencari ilmu dalam kitab alala tanalul ‘ilma (nadhom 1 dan 2)
اَلاَ لاَتَنَــــالُ الْعِـــلْمَ اِلاَّ بِســــــِتَّةٍ ۞ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
Ingatlah, kamu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara, akan saya jelaskan semuanya dengan terperinci
ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍوَبُلْغَةٍ ۞ وَاِرْشَادُ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
Cerdas, semangat, sabar, dan biaya, serta petunjuk guru dan masa yang lama
Dalam Kitab Ta’limul muta’alim ini dijelaskan ada enam syarat agar tidak gagal dalam proses belajar. Artinya para pelaku hijrah harus memulai dengan memenuhi enam syarat ini agar tidak terjerumus dalam lembah ta’lim ekstrem, yaitu :
Cerdas, Semangat, Sabar, Biaya, Guru dan Waktu.
Pemuda dan pemudi hijrahan bisa saja sudah memiliki modal beberapa syarat diatas, seperti kecerdasan (untuk menerima pelajaran), memiliki semangat yang kuat, memiliki kesabaran, dan mempunyai ongkos atau biaya untuk belajar. Akan tetapi ada dua syarat lagi yang kurang dimiliki, yakni guru (bersanad/musalsal) dan keterbatasan waktu.
Mencari guru harus yang bersanad, yang jelas, musalsal, dari gurunya guru, gurunya guru dan seterusnya dan yang paling utama penganut manhaj ahlus-sunah waljamaah.
Bahkan Sofyan mantan anggota Polri yang sempat menjadi teroris juga menyarankan, agar para pemuda, terutama yang baru hijrah untuk juga menjauhi ustad-ustad hijrahan. Carilah guru-guru yang benar, menguasai bidangnya. Banyak para ustad alumni pesantren yang sudah menghabiskan waktu cukup lama, lima belas hingga dua puluh tahun menuntut ilmu dipondok pesantren.
Dan syarat lainnya yang sepertinya tidak dimiliki kaum hijrahan adalah waktu yang lama. Mereka cenderung mencari yang instan, belajar melalui potongan video di youtube dll. Mencari ilmu harus dengan waktu yang berlangsung lama. Artinya tidaklah bisa kedalaman materi agama didapat dengan cara instan, copy paste, download dan selesai. Tapi perlu pendalaman materi setahap demi setahap, taqrar, muthala’ah, muhafadhoh dan lain sebagainya.
Oleh : Hery Miftah.H.RA