Dalam kurun waktu satu dekade ini media sosial hadir mendampingi berbagai aktivitas manusia. Sehingga bermedia sosial melalui gadget sudah seperti menjadi bagian kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Media sosial sudah merambah kesemua strata sosial, pendidikan dan ekonomi di masyarakat. Dari usia anak-anak hingga tua, dari miskin hingga kaya, dari kota hingga perkampungan, serta dari rakyat jelita hingga kaum kaya raya.
Hal ini menjadi sarana yang solutif bagi pelaku bisnis, pendidik, pemangku organisasi, politikus, dll. Tapi tak semua kecanggihan teknologi pada media sosial digunakan untuk hal positif.
Sudah menjadi hukum alam bahwa kebaikan juga berdampingan dengan kejahatan. Media sosial dengan teknologi modern saat ini juga digunakan sebagai sarana kejahatan. Penebar fitnah, propaganda politik, dan pelaku teroris juga menggunakan media sosial.
Dalam kasus yang saya sebut terakhir yakni para teroris telah menggunakan media sosial untuk melancarkan dalam penyebaran faham ekstrimisme kekerasan.
Berbagai propaganda melalui potongan-potongan video dan gambar-gambar dengan narasi kebencian yang diviralkan mampu memancing kemarahan umat dan masyarakat. Anak-anak muda juga menjadi sasaran empuk untuk diracuni fikirannya.
Sudah bukan rahasia lagi, aliran garis keras pengatasnama agama telah serius membidik generasi bangsa dalam (manifesto) perjuangannya. Penjerumusan aqidah Islam untuk kepentingan politik berujung pada kekerasan dan terorisme ini telah begitu meresahkan umat dan bangsa. Sungguh proxy war adalah ancaman yang nyata.
Di Indonesia pelaku teror menyebarkan pemikiran ekstrim, radikal, dengan membuat konten-konten di media sosial dengan mengajarkan kebencian terhadap orang diluar kelompok mereka, kepada pemerintah, aparat keamanan dan lain-lain. Mereka menganggap Pancasila sebagai thaghut/ berhala, menghormati bendera negara adalah kesesatan, sehingga dalam doktrin mereka hal-hal tersebut harus di tolak, di ingkari dan harus ditinggalkan.
Mereka juga membuat konten Intoleran. Sehingga kini intoleran sudah menjadi penyakit akut bangsa, sikap tidak mau menerima perbedaan, menganggap hanya kelompoknya yang paling benar adalah bukti berhasilnya mereka menanamkan intoleran, berfaham ekstrimis yang menjadi pintu gerbang radikal dan terorisme.
Kegiatan mereka di media sosial sangat berbahaya sebab gerakan mereka cukup masif. Sementara kegiatan pencegahan masih minim. Yang waras lebih cenderung silent, diam. Sedangkan banyak korban yang terus berjatuhan.
Kini saatnya para pemuda bangkit. Singsingkan lengan baju, “angkat senjata” maju di medan pertempuran dunia maya.
Apa saja yang harus dilakukan pemuda menghadapi itu semua. Dibawah ini beberapa yang bisa dilakukan para pemuda penebar kedamaian dalam perang “proxy war” media sosial.
- Saring sebelum sharing
Selalu identifikasi masalah terlebih dahulu berbagai konten yang baru muncul dan viral. Dibaca dan disimak baik-baik kemudian cek sumbernya agar tidak terjerumus dalam berita hoax.
- Kontra narasi
Setelah melakukan penyaringan dan identifikasi, jika ternyata konten tersebut hoax, maka langkah selanjutnya adalah membuat kontra narasi dari konten viral tersebut. Ingat, dalam kontra narasi tentunya juga harus disiapkan materi keilmuan yang memadai untuk mengcounter narasi hoax tersebut. Jika dirasa berat untuk melawannya, maka lakukanlah langkah ketiga, yaitu membuat narasi alternatif.
- Narasi alternatif
Membuat narasi alternatif adalah dengan membuat kalimat dengan narasi yg sedikit berbeda dari tema utama, atau sedikit mengelak tetapi tetap sesuai dengan tema tersebut. Narasi alternatif dapat berisi dengan bahasa humor sehingga menurunkan ketegangan atau kerenggangan dalam masyarakat.
Mari para pemuda kita berjuang melawan faham ekstrimisme kekerasan di media sosial. Mereka melakukannya dengan sistematis dan massif. Maka kita juga harus melawannya dengan cara yang massif juga. (HMH)