Dalam filosofi Jawa, Guru mempunyai makna “digugu” dan “ditiru”. Digugu artinya dipercaya, dipatuhi. Setiap ucapan, nasihat, dan tutur kata seorang guru harus bisa dipercaya dan dipatuhi oleh siswa. Kata ditiru artinya diikuti, dicontoh, diteladani. Maka guru harus bisa menjadi contoh dan teladan bagi siswa.
Maksud digugu dan ditiru disini bukan berarti menerima segala kebenaran hanya dari guru, namun sosok guru sebagai orang yang dihormati karena kemuliaan ilmunya.
Guru Supriyani
Tapi menjadi guru saat ini tidak melulu untuk menjadi guru yang disegani dan dimuliakan karena ilmunya. Guru saat ini juga dapat dikriminalisasi.
Seperti kasus baru-baru ini yang menimpa seorang ibu guru bernama Supriyani.
Kasus guru honorer Supriyani (37) asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang diduga memukul muridnya. Kasus ini berawal ketika Supriyani diduga memukul muridnya di SD Negeri 4 Baito, Kecamatan Baito, Konawe Selatan dengan sapu ijuk hingga memar pada 24 April 2024.
Sang murid merupakan anak dari Ajun Inspektur Dua (Aipda) Hasyim Wibowo, Kepala Unit Intelijen Polsek Baito. Meski Supriyani membantah tuduhan itu, orangtua korban justru melaporkannya ke Polsek Baito.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Di dalam Hymne Guru, sebuah lagu yang telah menjadi simbol penghormatan, guru digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban tanpa mengharapkan imbalan berupa medali atau penghargaan. Lagu ini pertama kali diciptakan oleh Sartono, seorang guru sederhana dari Madiun yang hidup dengan keterbatasan. Hymne Guru telah menjadi simbol pengabdian tulus seorang guru. Melalui liriknya, tersirat bagaimana pengorbanan seorang guru tak ternilai dan tidak pernah diukur dengan materi.
Bagaimana pun perjuangan seorang guru bukanlah sesuatu yang remeh-temeh. Usaha mencerahkan semesta, memperbaiki moral generasi, dan tanggung jawab memajukan bangsa menjadi beban sekaligus kemuliaan seorang guru. (HMH).